Jumat, 08 Februari 2013

Kehebatan Rudal SA - 2 era Soekarno

S-75 (kode NATO: SA-2 Guideline) adalah sebuah sistem peluru kendali darat ke udara yang dibuat oleh Uni Soviet. Rudal yang pertama kali dibuat oleh pabrik Lavochkin OKB pada tahun 1953 juga dikenal dengan sebutan SAM (Surface to Air Missile)-75 mampu membuat negara tetangga dan NATO/AS sempat dibuat keder saat era tersebut, saking populernya, karena banyak merontokkan pesawat tempur AS.


SA-2 terbilang rudal yang punya reputasi tempur tinggi, dengan sosoknya yang terbilang besar,
yakni berat 2,3 ton, panjang 10,6 meter serta diameter 0,7 meter menjadikan SA-2 adalah sosok rudal terbesar yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

Dengan bobot hingga ukuran ton, sudah pasti daya jelajah rudal ini terbilang fantastis dan memang SA-2 digolongkan segai rudal darat udara jarak jauh. Jangkauan SA-2 efektif bisa mencapai 45 km dengan kecepatan 3,5 Mach, sebuah kecepatan yang fantastis, mengingat sejak SA-2 Indonesia belum pernah memiliki rudal darat udara dengan kecepatan diatas 3 Mach (3 kali kecepatan suara).

Walau terbilang rudal kelas berat, proses peluncuran SA-2 bisa dilakukan secara cepat bila telah mengunci sasaran. Saat pertama diaktifkan yang menyala adalah engine booster selama 4 sampai 5 detik dan kemudian engine utama akan aktif selama 22 detik dengan kecepatan 3,5 Mach dengan tingkat akurasi 65 meter.

Selain unggul dalam daya jelajah dan kecepatan luncur, jangkauan ketinggian SA-2 pun mengagumkan, yakni bisa mencapai 20.000 meter. Daya hantam SA-2 pun cukup menakutkan dengan hulu ledak high explosive fragmentasi seberat 200 kg. Dengan spesifikasi diatas, jelas SA-2 jadi senjata yang mujarab untuk merontokkan pesawat jet pengintai yang kerap terbang tinggi.
Ini terbukti pada 1 Mei 1960 rudal ini dapat menembak jatuh pesawat mata-mata Amerika U-2 ‘Dragon Lady” pada ketinggian 15,24 Km dan berhasil menangkap pilotnya Francis “Gary” Powers.

Selain itu ada peristiwa lain yang mencatat keberhasilan rudal ini dari berbagai variannya adalah pada insiden U-2 Taiwan ditembak jatuh oleh tentara RRC di atas Narching. Lalu Pada bulan Oktober 1962, U-2 Amerika hilang ditembak oleh tentara Kuba di atas pangkalan angkatan laut Banes yang kemudian memicu krisis rudal Cuba. Berikutnya adalah di ajang Vietnam dengan korban pesawat tempur F-4C Phantom pada bulan Juli di tahun yang sama. Tak heran memang, SA-2 dihadirkan Uni Soviet sebagai kegeraman atas kehadiran pesawat intai U-2 yang kerap masuk ke wilayah Soviet. Dalam operasionalnya, SA-2 digunakan pada tahun 1957 oleh resimen PVO-Strany dan ditempatkan pada suatu daerah dekat kota Sverdiovsk.
Awal mula SA – 2 di Indonesia

Menyandang predikat sebagai ‘Macan Asia’ dalam sisi militer, Indonesia pada era 60-an menjelma sebagai kekuatan yang menggetarkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Dari seabreg perlengkapan tempur modern yang diperoleh dari Uni Soviet, unsur pertahanan udara (Hanud) nyatanya juga sangat diprioritaskan oleh Ir. Soekarno, Presiden RI pertama. Sebagai unsur Hanud, mulai dari pesawat tempur, rudal dan radar, apa yang Indonesia punya saat itu adalah produk tercanggih dimasanya.

Ketika ancaman perang dengan Belanda kembali muncul, Bung Karno langsung menggelar crash program: modernisasikan militer! Untuk tugas itu, Kolonel AH Nasution dipercaya mengelus-elus Uni Soviet agar bersedia melepas persenjataannya kepada Indonesia. Selanjutnya militer Indonesia menjelma menjadi kekuatan paling utama di Asia Tenggara dan Pasifik.

Konon AURI paling diuntungkan dari pembelian ini. Seperti membalik telapak tangan, AURI yang sebelumnya mengoperasikan pesawat-pesawat peninggalan Belanda semasa Perang Pasifik, kelimpahan alutsista baru dari negara-negara Blok Timur. Satu dari ratusan sistem persenjataan yang dipasok adalah peluru kendali (rudal) darat ke udara V-75 yang oleh kalangan militer Amerika Serikat (AS) diberi kode SA-2 dan NATO menyebutnya Guideline sementara kalangan TNI AU mengenalnya dengan SA-75. Sementara dalam terminologi Barat rudal jenis darat ke udara biasa disingkat SAM (surface to air missile)

Sesuai dengan “petunjuk“ dari Jakarta bahwa pembelian merupakan crash program, tim AURI ini juga tidak berlama-lama di negara tirai besi (saat itu). Dalam kunjungan sekitar sebulan itu dibicarakan segala sesuatu mulai dari jumlah yang akan dibeli, bagaimana pengirimannya, bagaimana dan dimana pendidikannya hingga garansi lainnya yang mesti tertera di dalam kontrak.

Sayang sekali, Subagyo lupa berapa jumlah yang berhasil dibeli. Persiapan mulai terlihat di sana-sini. Mulai dari hanggar, shelter, perkantoran, hingga asrama pun dibangun. Daftar nama personil mulai dari bintara hingga perwira yang akan dikirim ke Uni Soviet untuk mempelajari pengoperasian SA-2 juga sudah dikantongi. Satu di antara rombongan itu dinamai “Naya 2“.

Seratus orang diberangkatkan pada tahun 1962, mereka direkrut dari bintara-bintara yang memang bertugas di satuan-satuan radar TNI AU, sedangkan pendidikan radarnya dilaksanakan di Polandia, berikut penuturan saudara Budhi yang terlibat dalam proyek pembelian rudal tersebut , “Kami tidak dikirim ke Rusia, tapi ke Polandia. Di sini pendidikan khusus bagi calon operator radar di skadron rudal,” aku Budhi Katamsi, mayor purnawirawan yang menutup karirnya sebagai staf Dinas Penerangan TNI AU.

Diakui Budhi yang ditempatkan di Skadron Peluncur 101 Cilodong, tidak semata mempelajari bagaimana mengoperasikan radar satu situs rudal SA-2 mengoperasikan radar IFF (identified friend or foe) dan radar penuntun malah yang membuat mereka harus “mendekam“ selama, persisnya, 18 bulan di Polandia, justru bagaimana mengutak-atik jeroan radar itu sendiri. “Jadi kami diajarkan mulai dari menyolder (soldering, mematri) sampai menggulung trafo, sementara pelajaran radarnya sendiri sebentar dan itu pun tidak terlalu sulit,” beber Budhi.

Sistem pendidikan sapujagat seperti ini jelas diarahkan dengan harapan pasukan mampu beroperasi secara mandiri. Sekali dayung dua pulau terlewati. Saat bersamaan di Jakarta juga mulai dilakukan perekrutan personil baru, terutama untuk memenuhi kebutuhan perwira. Selain memanfaatkan perwira yang sudah ada, puluhan mahasiswa maupun jebolan ITB Bandung digiring bergabung dengan AURI dalam kondisi tertentu negara berhak memaksa warganegaranya bergabung dengan militer demi tujuan bela negara, mereka inilah yang dididik pada tahap awal di Kalijati.

Dengan Skep Men/Pangau Nomor 53 Tahun 1963 tanggal 12 September 1963, dalam rangka mempertahankan wilayah kedaulatan udara nasional, dilakukan pembagian unsur-unsur rudal Hanud dalam pelaksanaan operasi, berada di bawah naungan Wing Pertahanan Udara (WPU) 100, membawahi 3 skadron peluncur dan 1 skadron teknik peluru kendali Yaitu :
1. Skadron 101 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilodong)
2. Skadron 102 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Tangerang)
3. Skadron 103 Peluncur peluru kendali darat ke udara SA-75 (di Cilincing)
4. Skadron Teknik 104 Penyiap Peluru Kendali (di Pondok Gede).
Tugas dari pada WPU 100 Peluru Kendali, pertama adalah mengatur, mengkoordinasikan dan memimpin langsung kegiatan-kegiatan dalam rangka pertahanan udara yang meliputi usaha penghancuran dengan peluru kendali terhadap sasaran-sasaran musuh/lawan, baik didalam maupun di luar wilayah Republik Indonesia. Kedua adalah mengatur, mengkoordinasikan dan mengawasi latihan yang membawa semua kesatuan yang dibawahnya dalam keadaan siaga.
WPU 100 Peluru Kendali berpangkalan di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Rencananya juga akan ditempatkan di Bekasi dan Surabaya, namun perangnya (Trikora) urung. Surabaya pertimbangannya karena di sana pusat Angkatan Laut. Kalau tiga skadron pertama merupakan skadron operasional, maka Skadron 104 merupakan skadron penyiap (Satpen) yang bertanggungjawab menyiapkan rudal-rudal yang akan ditempatkan di ketiga skadron operasional.

Nyaris Terjadi Insiden

Selama kampanye Trikora, SA-2 disiapkan membentengi Jakarta, tak banyak cerita seputar masa genting itu, mengingat pada 1962 Belanda dan Indonesia sepakat menyelesaikan pertikaian di meja runding. Namun satu peristiwa pantas disimak dengan keberadaan SA-2 adalah pada suatu saat radar rudal menangkap adanya target dalam jarak tembaknya. Seperti biasa, anggota Skadron Peluncur 102 bersiaga seperti hari-hari sebelumnya. Namun, tiba-tiba keluar perintah yang menegangkan, bahwa sebuah pesawat intai strategis U-2 Dragon Lady melintas di Teluk Jakarta.

Kejadian itu segera dilaporkan ke Panglima Kohanud. Oleh panglima diteruskan kepada Presiden lewat jalur ‘telepon merah’ untuk menunggu perintah selanjutnya. Sementara operator radar sudah mengunci posisi U-2. Bisa dibayangkan bila Bung Karno saat itu ada di tempat ketika telepon berdering dari Panglima Kohanud, tidak seorang pun bisa membayangkan bagaimana perang yang akan terjadi kemudian. Namun saat itu, RI-1 sedang tidak ada di tempat dan target kemudian melarikan diri.

hingga saat ini rudal SA-2 sudah diproduksi sekitar 4600 unit dalam berbagai varian. Sebagian besar penggunanya jelas para negara-negara sahabat Uni Soviet/Rusia. Di lingkungan ASEAN, tercatat hanya Vietnam yang juga pernah mengoperasikan rudal ini. Sebagai rudal yang dikendalikan lewat gelombang radio, SA-2 rawan menghadapi aksi jamming, untuk itu pihak Rusia berhenti menggunakan rudal ini pada tahun 1980, dan kini mengadopsi rudal anti serangan udara yang superior, yakni SA-10/SA-12, atau juga dikenal dengan subutan keluarga rudal S-300.

Sumber : Kaskus

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar Anda.Terimakasih telah berkunjung di di Blog BILLYSHARE 99

Peraturan dalam berkomentar :
1. Berikan komentar Anda yang sesuai dengan isi artikel.
2. Berkomentarlah dengan bijak dan mohon untuk tidak melakukan SPAM.
3. Dilarang Membuat onar dan menggunakan kata kasar
4. Kami Harap Jangan Menaruh Link Hidup Maupun Mati Di Kotak Komentar, Terimakasih
5. Jika ingin menggunakan link harap gunakan open ID
6. Dilarang Promosi Iklan dan sebagainya..Harap dimaklumi !!